Selasa, 22 Desember 2009

Memaknai Hari Ibu, Refleksi Citra Perempuan Indonesia

I Love You Mom……. You are Everything in my Life!!…
Terima kasih atas segala kekuatan cinta, kasih dan sayang yang tak henti-hentinya kau hembuskan ke dalam urat nadiku..
Belaian mesra dan janji ikrarmu saatku hadir di dunia….
Naluri kesabaranmu…meretas kemengalahanmu dalam sikap seorang Ibu….
Kau adalah cahaya surgawi penerang hati.. penyejuk jiwa… penentu langkah dan arah….
Tak bisa tergantikan dan terbalaskan walau dengan sejuta kebaikan…

Ibu…Ibu..Ibu…
Seorang Ibu adalah seorang Pendidik yang pertama dan utama”.., layaknya kiasan “Ibu Berakhlak Mulia, Anak, Keluarga Dan Generasi Pelanjut Berakhlaklah.. Mulia”….
Ibu… engkau adalah citra keluarga….”Bila ada cahaya di dalam jiwa, ada kecantikan di dalam pribadi. Bila ada kecantikan di dalam pribadi, ada harmoni di dalam rumah. Bila ada harmoni di dalam rumah, ada ketertiban di dalam negara. Bila ada ketertiban di dalam negara, ada kedamaian di dunia”.

Anak adalah Buah Hatimu dan Penerus Bangsa

Kedudukan Anak di dalam Al-Qur’an : Anak tiada lain adalah amanah yang harus di jaga dan dipertanggung jawabkan (Q.S 8: 27). Anak adalah batu ujian keimanan orangtua (Q.S 8:28 & Q.S 64:15). Anak adalah musuh yg akan mengganggu orangtua ( Q.S 64:14) dan Anak adalah permata hati ( Q.S 25 : 74 & Q.S 18 :46). Butuh kesabaran dan keikhlasan untuk semua itu…
Faktor penentu terhadap keberhasilan pendidikan anak adalah adanya seorang Ibu shalilah yang memahami peran dan tugasnya, serta mampu menjalankannya dengan sempurna. Itulah pilar utama dalam pendidikan anak. Oleh karena itu, Keberadaan seorang ibu shalihah sangat diperlukan…
Ibu & Istri yang salehah adalah madrasah bagi keluarga dan bangsa, layaknya sebuah madrasah harus di rawat fisiknya dan di-upgrade kurikulumnya agar menjadi madrasah unggulan. Belaian kasih sayang seorang ibu tidak tergantikan, bergantung kualitas dan kuantitas waktunya dalam menjaga anak-anaknya disela-sela berdakwah dan bekerja. Semakin berat amanah dakwah yang diemban seorang umahat (ibu rumah tangga), semakin berat tantangannya dalam membagi waktu untuk keluarganya. Maka, hanya dibutuhkan ibu yang tegar laksana karang di lautan dalam menghadapi terpaan angin dan gelombang dalam berdakwah & mendidik. Dia tidak mudah patah, kokoh berdiri indah di tengah samudera luas.

Hari Ibu…
Peringatan Hari Ibu versi lama pada awalnya lebih untuk mengenang semangat dan perjuangan para perempuan dalam upaya perbaikan kualitas bangsa. Dari situ pula tercermin semangat kaum perempuan dari berbagai latar belakang untuk bersatu dan bekerja bersama. Berbagai isu yang saat itu dipikirkan untuk digarap adalah persatuan perempuan Nusantara; pelibatan perempuan dalam perjuangan melawan kemerdekaan; pelibatan perempuan dalam berbagai aspek pembangunan bangsa; perdagangan anak-anak dan kaum perempuan; perbaikan gizi dan kesehatan bagi ibu dan balita; pernikahan usia dini bagi perempuan, dan sebagainya. Tanpa diwarnai gembar-gembor kesetaraan gender, para pejuang perempuan saat itu melakukan pemikiran kritis dan aneka upaya yang amat penting bagi kemajuan bangsa.
Kini, Hari Ibu di Indonesia diperingati untuk mengungkapkan rasa sayang dan terima kasih kepada para ibu, memuji ke-ibu-an para ibu, pemberian bunga, surprise party bagi para ibu, aneka lomba masak dan berkebaya, atau membebaskan para ibu dari beban kegiatan domestik sehari-hari seperti memasak, merawat anak, dan urusan rumah tangga lainnya.

Keluasan Ruang Publik Perempuan, Pembangunanisme, dan Kapitalisme
Pemodernan dan pembangunan mendorong kemodernan dengan cepat karena diiringi oleh modernisme dan pembangunanisme (developmentalism). Dengan kata lain, kemodernan berkembang dan melembaga secara cepat berkat masuknya modernisme dan pembangunanisme ke dalam budaya Indonesia. Hal ini berarti, modernisme dan pembangunanisme menjadi tulang punggung kemodernan. Selanjutnya, kemodernan tersebut membuka peluang dan kesempatan lebih luas dan terbuka kepada perempuan untuk berkiprah di ruang publik atau ruang sosial. Direpresentasikan kesadaran kritis perempuan terhadap ruang kehidupan mereka disektor publik. Di samping itu, juga direpresentasikan protes dan perjuangan mereka membongkar kebudayaan patriarkis yang mendasari kesempitan ruang publik bagi mereka.
Keadilan relasi gender diperoleh oleh perempuan berkat modernisme dan pembangunanisme membukakan ruang publik secara luas bagi perempuan, sedang ketidakadilan relasi gender pada perempuan juga tetap terjadi karena modernisme dan pembangunanisme ternyata juga menimbulkan kekerasan gender terhadap perempuan dan kelonggaran moralitas sosial.
Integrasi kultural kesetaraan gender terhadap kemodernan ternyata belum mampu menunjang secara kukuh kesadaran, protes, dan perjuangan para kaum perempuan. Kemodernan yang dipahami dan dicita-citakan oleh RA. Kartini dan RD. Dewi Sartika sebagai contoh -- belum menunjang tercapainya secara kukuh dan menyeluruh kesadaran, protes, dan perjuangan kaum perempuan sekarang ini. Setidak-tidaknya hal ini disebabkan oleh dua hal. Pertama, Masyarakat luas belum memahami makna dan sosok kemodernan. Hanya kalangan tertentu -- terutama kalangan menengah dan menengah atas yang berhasil mengenyam pendidikan formal -- yang dapat menangkap dan memahami makna dan sosok kemodernan. Hal ini menandakan bahwa keberterimaan kemodernan belumlah luas dan meresap ke dalam masyarakat. Kemudian kedua, keberakaran dan kemelembagaan kemodernan di dalam masyarakat luas relatif lambat. Akibatnya, kemodernan belum didukung secara luas oleh masyarakat. Di samping itu, kemodernan menjadi belum fungsional untuk menyangga sebuah gerakan moral atau budaya untuk mendapat keadilan gender khususnya keluasan-keterbukaan ruang publik bagi perempuan.
Masih banyak cerita dan kisah tentang keputusan saat melahirkan, bayi perempuan lebih sering digugurkan kalau tidak dikucilkan karena membuat malu keluarga yang mengharapkan bayi laki-laki. Bila tidak ada biaya, maka anak perempuan tidak harus kesekolah, toh nanti ke dapur juga. Perempuan tidak perlu bekerja karena mengurus anak dan dapur, padahal mahal sekali biaya hidup di kota besar kalau hanya mengandalkan single income. Tingginya jumlah kematian bayi terjadi akibat rendahnya gizi ibu hamil. Dari data BKKBN 2004, ada 15,700 ibu meninggal selama proses kehamilan atau kelahiran. Dengan kata lain setiap 35 menit seorang ibu hamil meninggal di Indonesia. Fakta tersebut menunjukkan lemahnya proteksi perempuan untuk tetap survive. Disisi belahan dunia lain, pengalaman demokrasi menunjukkan bahwa ada korelasi kuat antara keterwakilan perempuan dalam legislatif terhadap jiwa produk undang-undang yang dihasilkannya. Hal ini juga terjadi di pihak eksekutif dan yudikatif: ada sentuhan feminin dan sapaan kepada mereka yang tergolong lemah dan tersingkir; khususnya dalam hal perundangan di bidang pendidikan, kesehatan, jaminan sosial dan dunia wirausaha. Banyak negara yang memiliki jaminan sosial tinggi dan GDB (Gross Domestic Bruto) tinggi dan korupsi kecil, ternyata memiliki prosentasi wanita cukup tinggi di jajaran pengambil keputusan seperti di negara-negara skandinavia.

Citra Perempuan Indonesia
Citra Perempuan Indonesia dibangun atau dibentuk dalam seluruh subsistem budaya. Sistem sosial dan sistem material budaya memang lazim dipakai sebagai wahana pembangunan atau pembentukan citra manusia. Hal ini terlihat dalam kehidupan keluarga dan kehidupan sosial serta kepemilikan harta benda.
Permasalahan subordinasi perempuan atas laki-laki, pelabelan negatif atas perempuan, dan kekerasan seksual dan ekonomis atas perempuan banyak dialami oleh Perempuan Indonesia. Para TKW Indonesia menjadi korban subordinasi perempuan atas laki-laki dan kekerasan seksual dan ekonomis sebagaimana tampak dari kasus para TKW dari penipuan menjelang pemberangkatan, dilacurkan, ditelantarkan di luar negeri kemudian disiksa oleh majikannya: disiram air panas, dipukuli, di setrika, dipaksa makan nasi basi tiga hari berturut-turut, disuruh berjalan di atas arang membara, tidak digaji, disiksa dan diperkosa majikan, hingga beberapa tewas mengenaskan dan perilaku sadis lainnya. Menurut pengakuan para TKW, sebab siksaan-siksaan itu bermacam-macam. Karena sikap majikan cemburu, perilaku merendahkan harkat martabat, karena hasutan para pekerja lain yang bukan dari Indonesia, serta sebab-sebab lain yang umumnya berasal dari masalah-masalah yang kecil dan sepele. Padahal, mereka berjuang untuk menghidupi keluarganya agar keluar dari problem kemiskinan yang selalu mengimpit mereka. Di desa mereka tinggal, tidak ada pekerjaan yang mampu menopang kehidupan sehingga mereka rela meninggalkan keluarga dan kampung halaman demi mendapatkan ringgit, dinar, yen, dan dollar. Sulitnya mendapatkan lapangan kerja membuat mereka rela mendapat perlakuan diskriminatif dengan menjadi pembantu rumah tangga, pengasuh bayi, atau pelayan toko.
Contoh-contoh ini menunjukkan bahwa para perempuan belum berhasil, bahkan gagal membongkar ketimpangan dan ketidakadilan relasi gender. Penyebab utama ketidaksadaran akan ketidakadilan relasi gender dan kebelumberhasilan atau kegagalan pembongkaran ketidakadilan relasi gender tersebut terutama adalah penetrasi kebudayaan patriarkis yang demikian kuat di negara-negara tempat bekerja contoh Uni Emirat Arab dan Malaysia. Kebudayaan patriarkis yang maskulinistis ini dikendalikan secara sepenuhnya oleh laki-laki. Reproduksi dan produksi nilai-nilai kebudayaan ditentukan oleh laki-laki dan demi kepentingan laki-laki. Demikianlah, terkungkung atau terikat kuat oleh kebudayaan patriarkis sehingga mereka tidak menyadari kekurangan-kekurangan kebudayaan patriarkis itu. Kuatnya penetrasi kebudayaan patriarkis tersebut mengimplikasikan adanya hegemoni maskulinitas atas femininitas. Hegemoni maskulinitas di dalam kebudayaan patriarkis ini mengakibatkan perempuan-perempuan tidak menjadi pereproduksi dan pemroduksi nilai-nilai kebudayaan patriarkis. Perempuan-perempuan hanya menjadi konsumen nilai-nilai kebudayaan patriarkis.

Rendahnya Kualitas Kerja
Menurut sumber dari KBRI sebenarnya ada juga yang sebabnya berasal dari kita sendiri. Misalnya karena organisasi pengiriman tenaga kerja kita di Indonesia tidak memberikan ketrampilan yang memadai, sehingga tidak sedikit pekerja kita yang sama sekali tidak memiliki pengetahuan dan ketrampilan dari kewajiban kerjanya, di samping sama sekali tidak memiliki bekal bahasa. “Mungkin sekali tidak ada training sebelum mereka dikirim”, kata salah seorang personil KBRI yang bertugas dalam penampungan, “Indonesia bukan tidak punya tenaga trampil atau berkemampuan bahasa, tetapi lembaga-lembaga pencarian tenaga kerja kita sepertinya lebih memilih segmen TKW yang mudah dibodohi, sementara tenaga kerja lain yang lebih berpendidikan dan berketrampilan tidak banyak yang berpikir untuk bekerja di luar negeri. Sehingga yang kita eksport adalah tenaga kerja yang paling rendah kualitasnya”. Padahal para TKI yang berhasil dapat membantu mengerakkan roda perekonomian “home industry” di wilayahnya. Kegiatan ini otomatis akan mengurangi angka pengangguran. TKI/TKW kita sering disebut Pahlawan Devisa. Merekalah yang bekerja keras meski jauh dari keluarga dan kampung halaman untuk mendapatkan rezeki, mereka juga yang mendatangkan devisa signifikan bagi bangsa Indonesia. Bayangkan, Pahlawan Devisa ini menyumbangkan pendapatan nasional satu miliar dollar AS. Tak heran jika keberadaan mereka tidak serta-merta membawa masalah bagi negara, tetapi juga memberi nilai positif bagi pendapatan negara.

Kekerasan Modernisme dan Pembangunanisme terhadap Perempuan
Di samping membawa berkah, kemungkinan, harapan, dan kesempatan baru bagi perempuan, modernisme dan pembangunanisme yang ditopang oleh kapitalisme global ternyata juga membawa kekerasan tersendiri bagi perempuan. Dengan kata lain, modernisme dan pembangunanisme memunculkan kekerasan terhadap perempuan. Yang tampak atau terpancar kuat adalah kekerasan tradisi (kebudayaan patriarkis) terhadap perempuan pada satu pihak dan pada pihak lain harapan dan berkah positif modernisme bagi perempuan. Para TKW kita tidak jarang menggambarkan perempuan-perempuan menjadi korban modernisme dan pembangunanisme, mereka belum berhasil menikmati alam kehidupan modernisme yang dibayangkannya penuh kebebasan.

Kelonggaran Moralitas Sosial dan Kebebasan Perempuan
Di samping menimbulkan kekerasan terhadap perempuan, modernisme dan pembangunanisme juga memunculkan kelonggaran moralitas sosial. Modernisme dan pembangunanisme memang telah membuat perempuan bebas dari (freedom from) belenggu dan kungkungan tradisi yang sangat patriarkis, tetapi juga menjadikan perempuan bebas untuk (freedom of) berbuat segala sesuatu, bahkan berbuat sesuatu yang melanggar moralitas sosial, misalnya promiskuitas dan pelacuran secara ekonomis, akibat timbulnya kelonggaran moralitas sosial.

Saran
Bagaimana solusi yang ditawarkan dalam setiap menghadapi masalah. Perlindungan hukum menjadi kunci utama persoalan TKI di luar negeri. Pertama, Perundang-undangan kita belum mampu memberi jaminan perlindungan hukum bagi pekerja di luar negeri agar mereka bisa nyaman bekerja dan mendapat perlindungan hukum. Political will pemerintah untuk mau mengurusi mereka (tidak hanya mengambil keuntungan finansial/devisa) menjadi entry point bagi upaya penyelesaian problem TKW/TKI. Sebagai warga negara, mereka memiliki hak untuk mendapat perlindungan hukum dan HAM dari pemerintah di mana pun berada. Lihat saja bagaimana bekerja kerasnya Pemerintah Filipina dalam melindungi TKW-TKW mereka yang bermasalah dengan hukum. Mereka memiliki komitmen perundang-undangan yang jelas tentang perlindungan tenaga kerja di luar negeri. Dalam konteks tenaga kerja di Malaysia, Pemerintah Indonesia sebenarnya sudah memiliki kesepakatan dengan Pemerintah Malaysia dalam menyelesaikan problem TKI. Akta Imigresen 1154/2002 menegaskan, penegakan hukum tidak hanya menindak TKI ilegal, tetapi juga perusahaan/majikan yang mempekerjakan mereka. Dengan komitmen ini, perlakuan diskriminatif tidak saja terjadi kepada TKI, tetapi dalam praktik TKI yang selalu dipersalahkan. Terhadap pelanggaran hukum seperti ini, yang harus dikedepankan bukan hanya penanganan melalui pendekatan tindak pidana, melainkan pelanggaran berat HAM karena dampaknya telah berupa kejahatan luar biasa melalui tindak kekerasan berencana. Perlu ada solusi hukum yang juga terencana dan sistematik. Tidak bisa pendekatan penindakan terhadap kejahatan yang jelas-jelas terencana ini hanya berupa penindakan hukum konvensional, kasus ini sebenarnya bisa dibawa ke sidang Dewan HAM PBB.
Kedua, Peran ulama dalam konteks inilah, peran berbagai kalangan, seperti LSM, agamawan, dan rakyat Indonesia, dalam menyikapi permasalahan TKI/TKW amat diperlukan. Dalam hal, misalnya, para ulama yang dikenal sebagai agamawan diharapkan dapat memberi kontribusi positif bagi penyelesaian TKI secara komprehensif. Bagaimana ulama mampu menafsirkan doktrin-doktrin agama agar tercipta semangat baru dalam menyelesaikan problem kemiskinan umat. Sayang, doktrin-doktrin agama sering ditafsirkan literal yang lalu menciptakan aneka kesulitan baru bagi penyelesaian problem TKI/TKW. Fatwa haram pekerja perempuan di luar negeri merupakan langkah tidak strategis bagi upaya penyelesaian problem yang dihadapi TKI/TKW. Di sinilah ulama diharapkan dapat memainkan peran baru dalam memecahkan aneka problem sosial. Bukan lagi urusan agama saja yang diperhatikan ulama, terutama tentang hukum halal-haram, tetapi bagaimana menggerakkan pandangan
hidup masyarakat agar membekali diri dengan pengetahuan dalam melakukan tiap pekerjaan. Peran inilah yang dulu dilakukan ulama kita. Selain sebagai pendakwah agama, ia juga menjadi dokter, konselor terutama masalah-masalah sosial yang dihadapi masyarakat, pelopor kemerdekaan, dan panutan dalam kehidupan sehari- hari. Semangat multifungsi ulama di zaman sekarang diharapkan dapat memberi pencerahan religius dan sosial bagi masyarakat. Dengan demikian, ulama juga berfungsi sebagai pencerah sosial yang aktif untuk melakukan kritik terhadap pemerintah, penebar damai kepada masyarakat, dan pemberi solusi masalah-masalah sosial yang dihadapi masyarakat. Mengembalikan spirit keulamaan zaman dulu ke zaman sekarang merupakan modal sosial yang amat berharga bagi masyarakat Indonesia yang dikenal sebagai masyarakat religius. Semua ini bukan dimaksudkan ulama melakukan atau mengambil alih pekerjaan kaum profesional, tetapi ikut memberi spirit perubahan sosial. Pada gilirannya ulama dapat memainkan peran sosialnya lebih baik.

Selamat Hari Ibu, bagi Para Ibu di Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar