Selasa, 01 Desember 2009

“Komunikasi Hukum dan Hukum Komunikasi Kita”

Menyikapi ramainya perseteruan kasus KPK vs Polri, seakan mempertanyakan bagaimana komitmen moral dan hati nurani para elite yang sedang “berkelahi” memperebutkan pencitraan? Juga pertanyaan selanjutnya, pantaskah rakyat lemah dikorbankan demi kepuasan segelintir elite dan pejabat negara?. Seperti kata F. Thomson (1993) etika juga bisa mendukung tindakan para pemimpin politik untuk mengorbankan pihak yang tak bersalah demi kepentingan bangsa secara keseluruhan. Konflik pada arus atas/ elite yang kian menajam telah menjadi beban moril bagi arus bawah/ rakyat. Rakyat tidak sanggup mencerna pesan-pesan (isu-isu) dari arus atas. Akibatnya rakyat memberikan legitimasi moral yang tidak relevan terhadap konflik politik arus atas (distorsi komunikasi), yakni dalam bentuk unjuk rasa yang destruktif. Pada hakikatnya unjuk rasa dan dukungan via internet (facebookers) adalah feedback terhadap pernyataan-pernyataan provokasi para pihak-pihak yang dianggap lawan para elite.

Praktek KKN, budaya premanisme dan kultur kekerasan sangat meluas di Indonesia saat ini. Tindakan kekerasan terjadi setiap waktu. Jumlah dan kualitasnya sangat meningkat belakangan ini. Krisis ekonomi menyebabkan banyak pengangguran dan meningkatnya krisis mental. Terjadi degradasi nilai-nilai kemanusiaan atau dehumanisasi. Rambu-rambu moral dan agama tidak lagi memiliki kekuatan yang berarti untuk mengontrol perilaku masyarakat. Kalangan elite politik tidak memberi contoh yang baik, mereka tidak lagi memiliki komitmen moral untuk rakyat.

Adanya Kebebasan komunikasi menjadi salah satu Hak Asasi Manusia yang teramat penting, maka harus ada keadilan dalam berkomunikasi. Artinya tiap orang mempunyai hak yang sama untuk berkomunikasi. Termasuk segala unsur, aspek, fungsi dan implikasinya. Namun bukan berarti kebebasan Pers disalahartikan dengan kebebasan sebebas-bebasnya sehingga ideologi dan cara pandang kita sudah kabur dari makna demokrasi yang sesungguhnya (demokrasi bertanggung jawab). Maraknya tayangan sinetron yang mempertontonkan perebutan kekuasaan dan kekayaan, selanjutnya pemberitaan yang berlebihan seperti amuk massa, merebaknya premanisme, budaya kekerasan, dan perseteruan elite politik yang berkepanjangan saling hujat menghujat, saling tuding menuding, saling fitnah, saling mengancam, saling membohongi, memperalat konstitusi untuk memojokkan lawan politik, dan berbagai macam trik komunikasi dengan merebut pencitraan dan simpatik publik. Sudah terlalu sering ditonjolkan di layar TV (over exposure) hanya mengulang-ulangi. Bahkan beberapa pengamat saling memperalat dengan TV untuk melampiaskan kebencian mereka kepada lawan-lawan politik mereka. Tetapi harus diakui, bahwa bangsa kita sudah mulai dihadapkan pada pilihan yang sulit (dilematis). Yakni kebebasan atau keamanan?

Kebebasan vs Moral

Menyoal Komunikasi Hukum dan Hukum Komunikasi di Indonesia sebagai bagian yang saling berhubungan menurut Penulis sekarang ini untuk kita sama-sama sadari. Yang disebut Hukum Komunikasi adalah Undang-undang dan putusan hakim (yurisprudensi) tentang media massa. Ada Undang-undang Pers, Undang-undang Penyiaran, Undang-undang Perfilman, Undang-undang Internet (cyberlaw) dan sebagainya. Dan Undang-undang hukum pidanalah yang mengatur sanksi atau tanggung jawab hukum media massa. Masalahnya kini opini publik sebagai akibat pengaruh media massa yang tinggi, terbukti dapat mempengaruhi kebijakan para penegak hukum dalam melepaskan upaya peradilan terdakwa kasus penyuapan pimpinan non aktif KPK. Salah satunya dukungan 1.000.000 (satu juta) facebookers terhadap pimpinan non aktif KPK. Padahal proses penyelidikan, pemeriksaan dan pencarian serta pengumpulan fakta masih dalam tahap awal dilakukan. Sedangkan yang dimaksud dengan Komunikasi Hukum meliputi penyuluhan hukum atau tindakan menyadarkan masyarakat tentang pentingnya menaati hukum. Sejalan dengan sifat hukum itu sebagai norma yang memaksa, maka komunikasi hukum dan atau penyuluhan hukum juga bersifat memaksa. Mengapa ketika kasus KPK vs Polri kepercayaan masyarakat terhadap penegak hukum sangat minim. Dan kini upaya Komunikasi Hukum oleh Penegak Hukum tersebut sekali lagi dapat dipatahkan oleh ketidakpercayaan dan keenganan dukungan dari masyarakat. Banyak variabel yang mempengaruhi sikap khalayak, diantaranya juga merupakan dampak komunikasi dari arah lain (orang lain) atau merupakan perbedaan kerangka berpikir (frame of reference), latar belakang pengalaman khalayak atau sebagian penerima penyuluhan hukum sebelumnya yang terjebak pada usaha penyelesaian kasusnya yang mengharuskan ada jaminan dan prasyarat materi. Banyak berita-berita dan pengalaman masyarakat pencari keadilan dan juga banyak orang berani melanggar hukum karena tidak percaya kepada itikad baik aparat penegak hukum. Ini bukti bahwa sudah sejak lama ada benturan arah hubungan antara penegak dan rakyat dalam pemahaman serta pandangan kebiasaan-kebiasaan yang dapat luluh dalam aturan di lapangan. Pentingnya ketegasan dan contoh baik yang mendidik dari aparat hukum, karena jika tidak maka hukum dapat dipatahkan dengan tekanan dari jumlah opini publik yang mungkin saja tidak relevan. Lalu lintas informasi melalui banyak situs websites sangat ramai dan para komunikator internet sangat mudah melakukan penyamaran identitas. Ironisnya, dengan kata lain Hukum di Indonesia dapat diculik dan dibekukan sementara, layaknya jaminan untuk tidak menjamin. Itulah sebabnya kepatuhan kepada hukum dan kepercayaan kepada lembaga yudikatif atau aparat penegak hukum kian melemah. Banyak orang menjadi hakim sendiri (facebookers) dalam menyelesaikan tindakan kejahatan. Sebab para elite tidak lagi memberi contoh tentang perilaku yang baik bagi rakyat. Bahkan sebagian diantara elite nyaris menderita kehampaan etika komunikasi hukum yang total. Contohnya beberapa orang anggota komisi III DPR saling berebutan untuk berbicara dan menjudge “seseorang” yang belum terbukti bersalah pada pertemuan rapat kerja antara Komisi III DPR dan Kapolri, lebih parah lagi ketika beberapa orang anggota LSM sangat emosional tidak mau menerima bantahan dan penjelasan sehingga pertemuan LSM dengan Komisi III DPR berlangsung ricuh. Perlu dirumuskan pula etika sumpah yang bagaimana yang baik dalam penyampaiannya dan benar unsur pesannya yang banyak diucapkan oleh beberapa orang para elite yang diduga terlibat kasus penyuapan dan pemerasan KPK.

Komitmen moral untuk mengakhiri konflik antara kedua pihak dengan modus dialog atau rekonsiliasi tetap sulit diwujudkan, atau akan memakan waktu yang lama dan melelahkan, walaupun upaya pertemuan dialogis dengan bantuan pihak ketiga sudah banyak dilakukan. Sebab masing-masing pihak tidak lagi dituntun oleh aturan-aturan main yang mengacu pada imperatif-imperatif moral dan atau etika. Ketidakcocokan persepsi dan penilaian antara satu kubu menyepelekan pendapat atau pemikiran lawannya, betatapun logis dan rasional pemikiran itu. Maka sekali lagi, moralitas menjadi tidak relevan dalam perebutan pencitraan di antara para elite tersebut. Para ahli filsafat politik Barat mengibaratkan politik sebagai ular yang cerdik dan berbisa. Sedangkan etika diibaratkan sebagai burung merpati yang putih, tulus dan polos. Dapatkah merpati duduk atau berbaring bersama-sama ular? Mungkin bisa, tetapi merpati tidak akan dapat tidur atau duduk tenang.

Radio BBC bersama The Asia Foundation pernah mengadakan seminar pada bulan Mei 1999. Temanya “Peranan Media Massa dalam Meredam Konflik Multi Etnis” (dalam bahasa Indonesia). Muncul dua pendapat. Seorang peserta wartawan dari Inggris menyatakan, bahwa menurut pengalamannya media massa tidak mampu meredam konflik multi etnis, malahan bisa memperluas atau memperparah konflik karena ada juga media massa memihak salah satu etnis. Pendapat lainnya menyatakan bahwa tidak semua kasus konflik etnis tidak bisa diredam oleh media massa. Namun bila dihadapkan kepada audience yang menolak atau menerima dengan sikap enggan membaca, mendengar atau menonton media (selective exposure), audience yang bersikap enggan memahami isi media meskipun mereka mau membaca, mendengar atau menonton (selective perception) dan audience yang bersikap enggan mengingat isi pesan media yang telah dipahami (selective retention). Disebabkan judul-judul berita yang spekulatif dan mencemaskan masyarakat. Dan hanya surat kabar-surat kabar yang memiliki quality press yang baik yang menghindari jurnalistik kecemasan (war journalism). Disamping itu ada banyak juga orang yang membutuhkan atau memanfaatkan untuk membaca, mendengar atau menonton berita.

Pada akhirnya, hasil yang diharapkan dari proses komunikasi hukum dan hukum komunikasi, harus mengikuti teori-teori dan model proses komunikasi yang diciptakan oleh ilmu pengetahuan. Dianalogikan dengan ajaran kejujuran pemberitaan tentang isu-isu yang kontroversial (fairness doctrine) yang diciptakan oleh Federal Communication Commission (FCC) di AS. Ajaran kejujuran itu konkritnya adalah pemberitaan yang adil dan berimbang mengenai isu-isu yang kontroversial. Implikasinya sebagai landasan bahwa ada kedalaman etika komunikasi. Dan Teori media teokrasi lebih menekankan aspek akhlakul karimah pada isi pesan media massa dan komunikasi sosial.

Peranan Opinion Leader

Dan pentingnya peranan seorang opinion leader yang memiliki pengaruh komunikasi terutama kepada media massa. Peranan opinion leader bisa menjadi pembuka jalan menuju perubahan, revolusi, reformasi, modernisasi (earlier adopters) dan meluruskan kembali hal-hal yang menjadi pemicu konflik. Tapi sifat opini dan pernyataan harus matang bukan sekedar opini dini (imprematur of public opinion). Opinion leader dari seorang tokoh agama, cendekiawan dan tokoh sosial atau seorang komunikator yang lebih mengedepankan etika dan norma. Isi pesan komunikasi serta pernyataan-pernyataannya harus memperkuat nilai-nilai dan keyakinan baru yang berlandaskan nilai-nilai kebajikan bukan menakuti dan menggoyahkan bahkan merekayasa. Keterbukaan (transparansi), santun dan kejujuran adalah selayaknya menjadi landasan ciri khas komunikasinya. Opinion leader tidak sekedar berfungsi rilei (relaying function) melainkan mereka mengolah pula isi berita yang bersangkutan, isi berita diberi tafsiran dan dianalisis sedemikian rupa sehingga berita itu tidak lagi berpengaruh buruk terhadap sikap para penerima. Yang berpengaruh adalah apakah isi berita itu benar dan boleh dilaksanakan atau tidak, dan tidak begitu saja bisa mengubah perilaku khalayak di dalam masyarakat kita yang masih dikuasai oleh hubungan-hubungan sosial berupa solidaritas mekanis. Sikap selektif khalayak (audience) terhadap pesan media bisa dikontrol oleh tokoh-tokoh pembentuk opini. Artinya komunikasi tatap muka memang mampu mengubah sikap komunikan, sedang media massa pada umumnya hanya mampu mengubah pengetahuan khalayak. Artinya sebagian media tidak sanggup “menyatukan” etika komunikasi dengan politik, sama halnya dengan kesulitan para elite politik dan pejabat Negara dalam menyatukan etika (merpati) dengan tindakan politik (ular).

Perubahan budaya komunikasi manusia akan terus berubah, hingga pada suatu saat menjelang akhir zaman kelak kemungkinan besar konsep komunikasi manusia akan berubah total. Tetapi hukum komunikasi karena Al-Qur’an dan Hadist tidak akan berubah. Al-Qur’an dan Hadist Nabi adalah media massa cetak yang sakral, yang memuat perintah dan larangan Tuhan, jadi merupakan hukum komunikasi (hukum media massa) dan sekaligus merupakan komunikasi hukum. Sifat imperatifnya lebih berat daripada buku Undang-Undang Hukum Pidana buatan manusia. Teori teokrasi mengajarkan perlunya tindakan tegas terhadap komunikasi yang melanggar perintah Tuhan. Karena itu teori media teokrasi senada dengan teori media pembangunan. Implikasinya semua proses komunikasi harus lebih ketat harus mengedepankan moral dan etika daripada sensor biasa. Meskipun semuanya dibarengi sanksi akhirat yang berat, tetapi di lain pihak ada sifat Maha Pengampun dari Tuhan yang Maha Esa kepada hambanya yang bertaubat dengan sungguh-sungguh. Hal itu merupakan unsur kearifan dalam penerapan sanksi hukum komunikasi tersebut.

Maka, solusinya dikembalikan kepada bisikan hati nurani mereka sendiri. Suara hati nurani tidak bisa bohong mengenai apa yang pantas dilakukan. Jika kemaslahatan seluruh bangsa adalah pilihan yang tepat sehingga”etis” mengorbankan pihak-pihak yang tidak ikut di dalam perseteruan para pemimpin politik, maka hal itu merupakan spekulasi politik yang sangat berbahaya. Belum tentu keselamatan seluruh bangsa bisa terwujud, padahal sudah banyak jatuh korban di kalangan masyarakat yang tak berdosa.

Bandung, 11 November 2009

*Penulis Dosen Politeknik Piksi Ganesha, PKN LPKIA dan Pemerhati Komunikasi Massa

2 komentar:

  1. Great items from you, man. I've have in mind your stuff prior to and you're just extremely excellent.

    I really like what you have received right here, certainly like what you
    are stating and the way in which through which you
    assert it. You make it enjoyable and you still take care of
    to stay it wise. I cant wait to read far more from you.

    This is really a great website.

    Check out my web site :: bmi charts

    BalasHapus
  2. This is a good tip particularly to those fresh to the blogosphere.
    Brief but very accurate info… Thank you for sharing this one.
    A must read post!



    http://co2gerechtigkeit.de/index.php?title=Benutzer:LoganFolk

    my web site nitric power

    BalasHapus